KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI
KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN |
KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI
Di dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berkomunikasi dengan orang yang ada disekitar kita karena kita merupakan makhluk sosial. Dan saat melakukan komunikasi kita membutuhkan orang lain. Komunikasi adalah hal penting yang ada di dunia ini dengan komunikasi kita bisa mengetahui beberapa kejadian yang diceritakan manusia lain kepada kita. Dengan begini komunikasi adalah hal yang sangat penting, sehingga kita juga dalam berkomunikasi memerlukan etika hingga orang lain merasa nyaman saat berkomunikasi dengan kita. Dalam organisasi atau perusahaan juga membutuhkan komunikasi yang baik antara atasan bawahan antara karyawan dan antara perusahaan dengan masyarakat umum.
Perusahaan adalah suatu unit usaha yang salah satu tujuannya mendapatkan laba. Jika ingin mendapatkan laba pemilik perusahaan harus bekerjasama dengan karyawan yang ada didalam perusahaan tersebut. Mereka juga harus menjaga komunikasi dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman. Karyawan nya juga harus mempunyai pengalaman dan keterampilan yang baik hingga jika pada saat mengeluarkan produksi atau pun rencana itu akan menjadi yang baik, dan mendapatkan produk yang berkualitas.
Dalam perusahaan ada yang dinamakan manajemen. Manajemen merupakan sekumpulan orang yang melakukan kegiatan planning ,organizing, leading dan controlling. Manajemen mempunyai tanggung jawab tertinggi atas berbagai pengambilan keputusan yang berkaitan dengan bidang dibawah ini.
Dari 2 elemen tersebut yaitu karyawan dan manajemen merupakan satu kesatuan yang saling membutuhkan. Manajemen yang baik adalah manajemen yang dapat berkomunikasi dengan karyawan secara tepat. Banyak sekali hal dapat digunakan untuk pendekatan antara manajemen kepada karyawan bisa secara formal maupun informal.
Hubungan baik antara manajemen dengan karyawan akan berdampak baik pula bagi perusahaan. Ide-ide baru dari karyawan bisa menyelesaikan masalah yang terdapat dalam perusahaan tersebut. Produktivitas pun juga meningkat karena karyawan dengan suka rela memberikan tenaga dan pikiran pada perusahaan.
Diantara kedua belah pihak terjadi komunikasi timbal balik. Sehingga diperlukan kerja sama untuk yang diharapkan untuk mencapai cita-cita, baik pribadi maupun perusahaan. Dengan begitu dapat dengan mudah mereka dapat mencapai tujuan organisasi atau perusahaan yang diinginkan.
DEFINISI KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI
Goldhaber (1986) memberikan definisi komunikasi dalam organisasi yaitu proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam hubungan jaringan yang saling bergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang selalu berubah-ubah. Dalam definisi komunikasi dalam perusahaan terdapat 7 konsep yaitu :
a. Proses
Dalam suatu organisasi kita menciptakan dan saling tukar menukar pesan antar anggota, hal ini berjalan terus-menerus dan tidak ada hentinya maka hal ini disebut sebagai proses.
b. Pesan
Pesan adalah susunan simbol yang penuh arti tentang orang, objek, kejadian yang dihasilkan oleh interaksi dengan orang. Pengklasifikasian pesan menurut bahasa dapat pula dibedakan atas pesan verbal dan pesan nonverbal. Klasifikasi pesan menurut penerima dapat dibedakan menjadi 2 yaitu pesan internal dan eksternal. Klasifikasi pesan yang terakhir adalah berdasarkan tujuan dari pengiriman dan penerima pesan. Redding (Goldhaber,1986) ada 3 alasan umum bagi arus pesan dalam organisasi yaitu berkenaan dengan tugas dalam organisasi, pemeliharaan organisasi, dan kemanusiaan.
Thayer mengemukakan 4 fungsi khusus dari arus pesan dalam organisasi yaitu : untuk memberi informasi, untuk mengatur, untuk membujuk dan untuk mengintegrasikan. Goldhaber (1986)menggunakan 3 klasifikasi redding ditambah dengan klasifikasi baru yaitu inovasi ini misalnya rencana baru organisasi, kegiatan baru organisasi, kegiatan baru, program baru atau pengarahan yang membangkitkan pemecahan masalah.
c. Jaringan
Pertukaran pesan dari orang satu ke orang yang lain terjadi melewati suatu set jalan kecil yang dinamakan jaringan komunikasi. Peran tingkah laku dalam organisasi menentukan siapa yang menduduki posisi tertentu atau pun pekerjaan tertentu baik dinyatakan formal maupun informal.
d. Keadaan saling tergantung
Hal ini telah menjadi sifat dari suatu organisasi sistem terbuka. Jika suatu bagian dalam organisasi mengalami gangguan maka berpengaruh kepada bagian yang lain. Begitu juga dengan jaringan komunikasi dalam organisasi saling melengkapi.
e. Hubungan
Organisasi yang merupakan sistem terbuka, sistem kehidupan sosial maka untuk berfungsi bagian-bagian itu terletak ditangan manusia. Karena itu hubungan manusia dalam organisasi memfokuskan kepada tingkah laku. Hubungan manusia dalam organisasi mulai dari yang sederhana yaitu hubungan diantara dua orang, hubungan dalam kelompok-kelompok kecil,maupun besar dalam organisasi.
Thayer membedakan hubungan ini menjadi hubungan bersifat individual, kelompok dan hubungan organisasi. Sedangkan pace dan boren menggunakan istilah hubungan interpesonal dalam komunikasi yang terjadi hubungan tatp muka.
f. Lingkungan
Lingkungan secara fisik dan faktor sosial perlu diperhitungkan dalam pembuatan keputusan mengenai individu dalam suatu sistem. Lingkungan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu internal dan eksternal. Lingkungan internal terdiri dari organisasi dan kultur nya dan antara organisasi itu dengan lingkungan eksternal nya. Kultur organisasi yaitu pola kepercayaan dan harapan dari anggota organisasi yang menghasilkan norma-norma yang membentuk tingkah laku individu dan kelompok dalam organisasi. Karena lingkungan berubah-ubah maka organisasi memerlukan informasi baru. Informasi baru ini harus dapat mengatasi perubahan dalam lingkungan dengan menciptakan dan pertukaran pesan baik secara internal dalam unit-unit yang relevan maupun terhadap kepentingan umum secara eksternal.
g. Ketidakpastian
Ketidakpastian adalah perbedaan informasi yang ada dengan informasi yang diharapkan. Untuk mengurangi ketidakpastian organisasi menciptakan dan menukar pesan diantara anggota, melakukan penelitian, pengembangan organisasi, dan menghadapi tugas-tugas yang komplek dengan integrasi yang tinggi. Salah satu urusan utama dari komunikasi organisasi adalah menentukan dengan tepat berapa banyaknya informasi yang diperlukan untuk mengurangi ketidakpastian tanpa informasi yang berlebihan.
Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi ( Wiryanto, 2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Orientasi nya bukan pada organisasi tapi lebih kepada anggotanya secara individual.
Komunikasi dalam organisasi adalah juga dapat diartikan sebagai komunikasi suatu organisasi yang dilakukan pimpinan, baik dengan para karyawan maupun dengan khalayak yang ada kaitannya dengan organisasi, dalam rangka pembinaan kera sama yang serasi untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi (effendy,1989:214).
Price (1997) mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai derajat atau tingkat informasi tentang pekerjaan yang dikirimkan organisasi untuk anggota dan diantara anggota organisasi.
PENTING KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI
a. Komunikasi mendatangkan efektifitas yang lebih besar.
b. Komunikasi menempatkan menempatkan orang-orang pada tempat yang seharusnya.
c. Komunikasi membawa orang-orang untuk terlibat dalam organisasi dan meningkatkan motivasi untuk melibatkan kinerja yang baik dan meningkatkan komitmen terhadap organisasi.
d. Komunikasi menghasilkan hubungan dan pengertian yang lebih baik antara bawahan, kolega, dan orang-orang di dalam dan di luar organisasi.
e. Komunikasi menolong orang-orang untuk mengerti perlunya perubahan.
f. Komunikasi meminimalkan permasalahan-permasalahan di dalam keorganisasian seperti konflik, stress, demotifasi dan loyalitas.
Sasaran komunikasi dapat diterapkan di dalam suatu organisasi atau perusahaan, maka sasaran yang dituju beraneka ragam dengan tujuan utama untuk mempersatukan individu-individu yang tergabung di dalam organisasi atau perusahaan tersebut. Berdasarkan komunikasi dan jumlah komunikasi, komunikasi dapat digolongkan dalam 3 kategori yaitu :
1. Komunikasi antar pribadi
Komunikasi ini diterapkan antara individu dalam usaha menyampaikan informasi yang dimaksudkan untuk mencapai kesamaan pengertian, sehingga dengan demikian dapat tercapai keinginan bersama.
2. Komunikasi kelompok
Prinsip dalam melakukan suatu komunikasi yang ditekankan adalah faktor kelompok, sehingga komunikasi menjadi lebih luas dalam usaha menyampaikan informasi, komunikasi dalam berkelompok tidak seperti komunikasi antar pribadi.
3. Komunikasi massa
Komunikasi massa melalui alat yaitu media massa yang meliputi media cetak dan media elektronik. Dengan landasan konsep-konsep komunikasi sebagaimana yang telah diuraikan, maka kita dapat memberi batasan tentang komunikasi dalam organisasi atau perusahaan secara sederhana yaitu komunikasi antar manusia yang terjadi dalam konteks organisasi atau perusahaan. Meminjam definisi Goldhaber, komunikasi organisasi diberi batasan sebagai arus pesan dalam suatu jaringan yang bersifat saling bergabung satu sama lain. Berikut adalah pengertian dan fungsi dari arus komunikasi yaitu :
a. Downward comunications
Adalah komunikasi yang berlangsung ketika orang-orang berada pada tataran manajemen mengirimkan pesan kepada bawahannya.
Fungsi arus komunikasi dari atas ke bawah ini sebagai berikut :
- Pemberian atau penyimpanan instruksi kerja
- Penjelasan dari pimpinan tenteng mengapa suatu tugas perlu untuk dilaksanakan.
- Penyampaian informasi mengenai peraturan-peraturan yang berlaku.
- Pemberian motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik.
b. Upward comunication
Adalah komunikasi yang terjadi ketika bawahan mengirim pesan kepada atasannya.
Fungsi arus komunikasi dari awah ke atas ini adalah :
- Penyampaian informasi tentang pekerjaan atau pun tugas yang sudah dilaksanakan.
- Penyampaian informasi tentang persoalan-persoalan pekerjaan atau pun tugas yang tidak dapat diselesaikan oleh bawahan.
- Penyampaian saran-saran perbaikan dari bawahan.
- Penyampaian keluhan dari bawahan tentang dirinya sendiri maupun pekerjaannya.
c. Horizontal comunication
Adalah tindak komunikasi ini berlangsung diantara para karyawan atau pun bagian yang memiliki kedudukan yang setara.
Fungsi arus komunikasi horizontal ini adalah :
- Memperbaiki koordinasi tugas
- Upaya pemecahan masalah
- Saling berbagi informasi
- Upaya pemecahan konflik
- Membina hubungan melalui kegiatan bersama
BENTUK KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI
Komunikasi sebagai proses memiliki bentuk :
1. Bentuk komunikasi berdasarkan
a. Komunikasi langsung
Komunikasi langsung tanpa menggunakan alat. Komunikasi berbentuk kata-kata, gerakan-gerakan yang berarti khusus dan pengguna syarat. Contoh kita berbicara langsung kepada seseorang dihadapan kita.
b. Komunikasi tidak langsung
Biasanya menggunakan alat dan mekanisme untuk melipat gandakan jumlah penerima pesan atau pun untuk menghadapi hambatan geografis. Contoh menggunakan radio, buku dan lain-lain.
2. Bentuk komunikasi berdasarkan besarnya sasaran
a. Komunikasi massa yaitu komunikasi dengan sasarannya kelompok orang dalam jumlah besar, umumnya tidak dikenal.
Komunikasi masa yang baik harus : pesan disusun dengan jelas, tidak dan tidak bertele-tele. Bahasa yang mudah dimengerti. Bentuk gambar yang baik. Membentuk kelompok khusus. Contoh kelompok pendengar (radio).
b. Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang sasarannya sekelompok orang yang umumnya dapat dihitung dan dikenal merupakan komunikasi langsung dan timbal balik.
c. Komunikasi perorangan adalah komunikasi dengan tatap muka dapat juga melalui telepon
3. Bentuk komunikasi berdasarkan arah pesan
a. Komunikasi satu arah. Pesan disampaikan oleh sumber kepada sasaran dan sasaran tidak dapat atau tidak punya kesempatan untuk memberikan umpan balik atau bertanya. Contoh radio.
b. Komunikasi timbal balik. Pesan disampaikan kepada sasaran dan sasaran memberikan umpan balik. Biasanya komunikasi kelompok atau perorangan merupakan komunikasi timbal balik.
Optimasi Pengawasan Masyarakat: Strategi Peningkatan Kinerja Pelayanan
Sesaat setelah Abu Bakar dilantik sebagai Khalifah pertama, dalam pidatonya antara lain beliau berkata : "Dukunglah aku bila aku benar, tapi tegurlah aku bila aku berbuat salah". Mendengar itu, Umar langsung menyahut : "Demi Allah, jika engkau menyimpang dari jalan Allah dan Rasul, aku akan menegurmu dengan pedangku". Betapa bersyukurnya Abu Bakar mendengar jawaban Umar yang tegas dan berani, namun mengandung nilai-nilai demokrasi itu.
Peristiwa diatas menggambarkan adanya kepedulian timbal balik antara penguasa dengan rakyat. Seorang penguasa/pemimpin dipilih dan diangkat oleh suatu kelompok dengan tujuan untuk mengorganisasikan serta memperjuangkan kepentingan kelompok tersebut. Oleh karenanya, manakala si pemimpin sudah mulai bergeser dari tujuan dan ketetapan yang telah disepakati bersama, anggota-anggota kelompok harus secepatnya mengaktifkan dan melakukan fungsi sebagai alat kontrol atau pengawas.
Kesempatan menjadi pemimpin bukanlah kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi diatas pribadi-pribadi yang lain, melainkan kesempatan untuk mengamalkan/mengabdikan segala kekuatan, pikiran dan kemampuannya bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Ya, pemimpin pada prinsipnya adalah abdi masyarakat.
Masyarakat Adalah Inti
Sejarah teori kedaulatan didunia menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari yang non demokratis kepada yang demokratis. Semenjak berakhirnya abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan bagi kebudayaan global khususnya di Eropa, dalam Ilmu Negara muncullah pemikiran tentang Kedaulatan Tuhan. Ajaran teori Kedaulatan Tuhan yang sangat identik dengan teori Kedaulatan Raja ini menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan kepada Raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan Raja adalah bebas, tidak terbatas dan tidak terikat, karena memang Raja hanya tunduk dan bertanggungjawab kepada Tuhan. Dengan demikian maka kehendak dan perintah raja adalah perwujudan kehendak dan perintah Tuhan.
Bahkan Raja James I dari Inggris pernah berkata : "Raja adalah penjelmaan Tuhan di bumi. Kedudukan Raja adalah sesuatu yang paling luhur didunia, karena raja itu tidak saja orang kepercayaan Tuhan yang didudukkan diatas singgasana Tuhan, tetapi malahan oleh Tuhan sendiripun ia disebut Tuhan".
Ajaran ini mengandung kelemahan, yaitu ketika Raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Semua yang dimilikinya langsung berpindah kepada Raja baru yang menggantikannya. Disinilah muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara yang berpendapat bahwa Negaralah yang memberi kekuasaan kepada Raja, bukan sebaliknya.
Akan tetapi, ajaran inipun ternyata menyimpan kekurangan juga. Apa artinya suatu negara atau pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur (hukum) ? Krabbe menyatakan bahwa hukum itu terjadi dari rasa keadilan (rechtsgefuhl) yang hidup pada sanubari rakyat. Dan hukum itu sendiri -- menurut Von Savigny -- tidak dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum, dari ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan perkembangan hidup rakyat. Ajaran ini dikenal dengan teori Kedaulatan Hukum.
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat dilihat secara jelas terjadinya proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu diupayakan untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak.
Meskipun demikian, peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belumlah begitu menonjol. Oleh karenanya timbul ajaranKedaulatan Rakyat yang masih berlaku sampai sekarang. Teori Kedaulatan Rakyat menentukan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang tertinggi. Rakyat dapat menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan pemerintahan kepada seseorang atau beberapa orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan. Bahkan jika dipandang perlu, rakyat bisa mencabut kembali kekuasaan yang telah diberikan kepada seseorang atau beberapa orang tadi. Akan tetapi sebaliknya, rakyat harus mematuhi aturan-aturan dan perintah si penguasa segera setelah terjadinya penyerahan kepercayaan tadi.
Sekarang nyatalah bahwa rakyat pada prinsipnya adalah pemimpin dari suatu negara, yang kemudian mewakilkan kepada beberapa anggotanya. Ibarat mobil, rakyat adalah setir-nya yang akan menentukan arah kemana mobil itu ditujukan ; sedang roda adalah perumpamaan bagi orang-orang yang ditunjuk rakyat untuk membawa mobil itu kearah yang telah ditetapkan.
Sistem pemerintahan Indonesia saat inipun -- secara teoritis -- menganut paham kedaulatan rakyat, dimana MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat yang bertugas menentukan haluan negara. Betapa manis dan kompaknya kerjasama antara MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dengan pemerintah sebagai pelaksana amanat rakyat tersebut. Dan, betapa indahnya mekanisme kerja antara keduanya.
Karenanya, sangat ironis sekali jika keindahan itu sekarang justru terbalik, rakyat takut mengungkapkan pikiran dan aspirasinya kepada penguasa, rakyat memandang penguasa sebagai tuannya, dan sebagainya. Keindahan itu telah ternoda. Rakyat yang mestinya berada diatas justru dibawah, dan penguasa yang mestinya adalah mandataris rakyat justru menjadi tuan dari rakyatnya. Ini berarti telah terjadinyaretradisionalisasi hubungan patron - client dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Orang Jawa bilang, telah terjadi wolak - waliking jaman.
Apa penyebab utama dari perubahan yang amat mendasar itu ? Bisa jadi karena rakyat bersikap masa bodoh, tidak peduli dengan lingkungan, dan apatis terhadap perkembangan politik dengan berpikir : "yang penting hak-hak saya tidak dilanggar ...". Tetapi bisa jadi pula disebabkan oleh sikap pemerintah yang terlanjur merasa nikmat, sehingga berusaha mencari legitimasi, yakni dengan menempuh cara-cara -- baik yang benar maupun tidak -- untuk melestarikan kekuasaannya, paling tidak untuk mempertahankan kekuasaan itu lebih lama dari yang seharusnya.
Dalam makalah berjudul Administrasi Negara Indonesia, Prospek dan Strategi Pendayagunaannya Dalam PJPT II yang dikeluarkan LAN Perwakilan Jawa Barat, disinyalir bahwa karena aparatur negara yang ada saat ini adalah aparatur yang mewarisi sistem administrasi kolonial yang berbaur dengan budaya feodal, maka dalam pelaksanaan jabatannya cenderung menampilkan rangkaian kekuasaan dan kewenangan, sehingga dalam ketidaktertiban administrasi memberi peluang bagi aparatur/pejabat untuk menyalahgunakan wewenang, korupsi, dan kebiasaan jelek lainnya, yang menjauhkan posisi aparatur negara dari masyarakat yang harus dilayani dan diayomi.
Mudah-mudahan saja prakiraan diatas tidak benar. Mudah-mudahan pula tidak sedang timbul gejala Machiavellisme atauShang Yang-isme yang berprinsip bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat, terlebih dahulu harus memperlemah rakyatnya. Dan Memang, tulisan ini tidak bertujuan untuk menganalisa kausalitas dan jalan keluar bagi masalah-masalah "berat" tersebut. Penulis, secara sederhana ingin mengajak kepada masyarakat untuk menyadari posisinya sebagai mitra atau partner yang sangat dibutuhkan oleh penguasa (pemerintah) dalam mencapai tujuan bersama, terutama bagaimana masyarakat mengawasi, menilai dan mempengaruhi segala sikap, persepsi dan peri laku pemerintah. Dengan kata lain, bagaimana masyarakat memberikan partisipasinya dibidang politik kepada mitranya.
Partisipasi politik menurut Samuel Huntington (1990 : 4 - 18) adalah kegiatan yang dilakukan oleh para warga negara preman (private citizen) dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi itu dapat secara spontan, secara sinambung atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif dan tidak efektif. Adapun jenisnya antara lain berupa kegiatan pemilihan, lobbying, kegiatan organisasi, mencari koneksi (contacting) dan tindak kekerasan (violence).
Permasalahan yang sangat krusial yang berkaitan dengan tulisan ini adalah faktor-faktor apa yang menyebabkan perbedaan tinggi rendahnya partisipasi masyarakat ? Berdasarkan penelitian para ahli (termasuk Huntington sendiri), pada tingkat mikro, yakni tingkat individu dan konteks kelompok dimana ia bertindak, hal itu sebagian dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan dalamstruktur status, baik status pendidikan maupun penghasilannya.
Variabel status disini sangat berkaitan dengan variabel sikap, yakni perasaan mempunyai efektivitas dan kompetensi politik. Dari sini dapat ditarik suatu pola umum bahwa semakin tinggi status seseorang akan semakin tinggi pula partisipasi politiknya.
Akan tetapi dalam kondisi tertentu, pola umum tersebut dapat menyimpang. Banyak contoh yang bisa ditunjuk untuk menjelaskan hal ini, misalnya golongan terpelajar Filipina tidak menunjukkan partisipasinya dalam Pemilu 1949, disebabkan karena anggapan bahwa suaranya tidak akan berharga sedikitpun. Juga kelompok intelektual Cina Malaya yang tidak memberikan suara pada Pemilu 1964 karena adanya diskriminasi dan penghapusan hak pilih bagi mereka. Begitu juga golongan melek huruf di India yang kurang berminat untuk memberikan suara, menghadiri rapat politik atau menyumbang uang untuk kampanye.
Dalam ketiga contoh diatas, partisipasi masyarakat yang buta huruf justru lebih tinggi dibanding kelompok cendekiawan, dikarenakan mereka tidak menyadari efektivitas suara mereka dalam suatu pengumpulan pendapat.
Adapun status ekonomi -- baik dalam arti kemandirian maupun ketergantungan ekonomi -- kasus di Kolombia memperlihatkan bahwa rakyat kecil yang tidak mampu serta tidak memiliki tanah, mudah sekali dipengaruhi oleh kelompok yang mampu. Ini berarti terjadi suatu partisipasi yang dimobilisasi untuk kepentingan golongan tertentu. Oleh karenanya, di daerah-daerah pedesaan Amerika Latin, pemilikan tanah merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik yang otonom.
Disamping status pendidikan dan penghasilan, ternyata ada lagi faktor yang mempengaruhi partisipasi, yaitu pekerjaan. Partisipasi orang-orang Negro di Amerika pada pemungutan suara tahun 1960-an berkaitan dengan sumber penghasilan yang relatif tidak tergantung kepada kontrol orang-orang kulit putih.
Jika secara teoritis telah ditemukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi rakyat, maka secara teoritis pula dapat ditentukan langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk membawa partisipasi masyarakat itu ke arah yang diinginkan.
Dari uraian dan contoh-contoh di atas, tentunya kita semua ber-keinginan untuk meningkatkan peran serta aktif seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, kita harus berusaha dari dua arah, yaitu dari bawah dan dari atas. Usaha dari bawah dimaksudkan sebagai usaha dari masyarakat untuk lebih meningkatkan kesadaran politiknya serta untuk lebih memahami arti pentingnya suara bagi sebuah perubahan. Suatu negara yang menganut sistem demokrasi dengan suara terbanyak, satu suara bisa berarti merubah dunia. Dan memang, pada dasarnya suara adalah pencerminan dari pemikiran, keinginan dan harapan dari orang yang mengeluarkan suara tersebut. Karena itu, keputusan untuk tidak memberikan suara pada suatu pengumpulan pendapat, sama saja dengan tidak memperhatikan kepentingan sendiri.
Adapun usaha dari atas dimaksudkan sebagai sikap, perilaku dan kemauan politik pemerintah untuk menciptakan suasana yang mendukung partisipasi masyarakat. Untuk itu, agar kasus-kasus di atas tidak muncul kembali, paling tidak pemerintah harus melakukan tiga usaha. Pertama, tumbuhkan kepercayaan di hati rakyat bahwa suara mereka benar-benar menjadi pertimbangan untuk memutuskan suatu masalah. Tidak ada artinya jika semua suara yang masuk hanya sekedar ditampung atau diterima saja, yang justru akan menjadikan kefrustasian dan keapatisan rakyat. Ini berarti pula bahwa prinsip LUBER (Langsung Umum Bebas Rahasia) semestinya tidak hanya dipegang pada waktu pelaksanaan Pemilu, tetapi juga pada setiap keputusan yang menyangkut nasib orang banyak.
Kedua, pemerintah harus lebih intensif meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan ekonomi rakyat. Dengan terpenuhinya dua faktor itu maka pengetahuan masyarakat akan efektivitas suara cukup tinggi, serta diharap-kan tidak timbul mobilisasi partisipasi. Ketiga adalah menciptakan suasana aman dan tenang dalam artian psikologis. Seseorang tidak bisa secara bebas menentukan sikap dan pilihan jika ada tekanan-tekanan yang tidak kelihatan -- dari manapun datangnya -- yang secara moril tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk menentukan sikap dan pilihan lain. Jadi, rasa aman dan tenang disini dapat diartikan juga bahwa penentuan bentuk dan jenis partisipasi tidak menimbulkan ekses-ekses negatif bagi orang yang bersangkutan seperti kesulitan kenaikan pangkat, kesulitan perolehan pekerjaan, dan sebagainya. Jika rasa aman ini belum terjamin, sama artinya dengan adanya mobilisasi partisipasi secara psikologis.
Suatu harapan agar posisi aparatur negara -- khususnya menyongsong PJPT II -- beralih dari subyek pembangunan yang dominan menjadi fasilitator, motivator dan dinamisator pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat, adalah wajar sekali. Ini berarti -- seperti dikatakan Moerdiono (Birokrasi dan Administrasi Pembangunan) -- dengan rela hati Pemerintah harus bersedia mengubah peran dalam pembangunan dari ing ngarsa sung tuladha menjadi tut wuri handayani.
Pengawasan Masyarakat
Dari hal-hal yang dikemukakan diatas, bisa kita analisa bahwa sebenarnya peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan khususnya dibidang pengawasan terhadap aparatur negara, sangatlah memungkinkan. Tinggal bagaimana kita semua mau melaksanakan dengan itikad baik demi kepentingan dan kemajuan bersama.
Ungkapan melu handarbeni dan melu hangrungkebi mengajak kita untuk ikut merasa memiliki dan ikut merasa bertanggungjawab atas nasib bangsa dan negara. Kesejahteraan dan kemakmuran bangsa adalah kebanggaan bersama, dan kehancuran bangsa adalah dosa bersama.
Pertanyaannya sekarang adalah, adakah pedoman untuk melaksanakan pengawasan masyarakat ? Secara yuridis formal memang belum ada, tetapi dalam GBHN diamanatkan bahwa berhasilnya pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila antara lain tergantung kepada partisipasi seluruh rakyat. Salah satu bentuk dari partisipasi itu adalah pengawasan masyarakat (Wasmas).
Wasmas sangat diperlukan karena keterbatasan kemampuan pengawasan melekat Waskat) dan pengawasan fungsional (Wasnal). Adapun tujuannya adalah makin meningkatnya tanggung jawab pada peran serta masyarakat dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu aparatur pemerintah berkewajiban untuk selalu memberikan kesempatan agar masyarakat mampu dan mau melaksanakan Wasmas dengan sebaik-baiknya. Bagaimanapun kecilnya nilai informasi yang disampaikan, Wasmas harus diperhatikan dan dihargai. Surat kaleng sekalipun perlu mendapat perhatian, karena seringkali isi informasi yang disampaikan ternyata benar dan sangat berharga.
Meskipun demikian, pelaksanaan Wasmas itu sebaiknya memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti obyektif (tidak bersifat memfitnah), dimaksudkan untuk perbaikan, disampaikan secara jelas dan lengkap (kalau perlu dengan bukti-bukti), serta memberitahukan bentuk-bentuk pelanggaran, penyimpangan, penyalahgunaan wewenang atau kesalahan yang terjadi. Disamping itu hendaknya dijelaskan pula patokan-patokan yang dilanggar, dan memuat saran-saran serta identitas orang yang menyampaikannya.
Tentu saja, penyampaian Wasmas itu tidak harus langsung melalui tatap muka dengan pejabat, secara tertulis melalui Kotak Pos 5000 (Kantor Wakil Presiden), melalui media massa atau tuntutan ke Pengadilan, akan teta-pi bisa juga disampaikan secara tidak langsung melalui Lembaga Perwakilan Rakyat, organisasi profesi, atau lembaga-lembaga sosial seperti Yayasan Lem-baga Konsumen, Lembaga Bantuan Hukum, dan lain-lain.
Agar Wasmas dapat berjalan lebih optimal, maka pemerintah harus memperhatikan beberapa hal antara lain :
· Secepatnya memberikan tanggapan dengan menjelaskan tindakan-tindakan yang telah diambil, atau menjelaskan duduk persoalannya.
· Dalam hal tanggapan belum dapat dilakukan karena masih memerlukan penelitian, maka tanggapan dilakukan secara bertahap : pertama, menyampaikan penghargaan dengan penjelasan akan segera dilakukan penelitian, dan setelah penelitian selesai, baru disampaikan tanggapan.
· Mengambil langkah tindak lanjut dalam bentuk usaha penertiban, peningkatan dan pembinan untuk merehabilitasi, meningkatkan dan membina citra instansi.
Sumber : http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/08/optimasi-pengawasan-masyarakat-strategi.html
Peristiwa diatas menggambarkan adanya kepedulian timbal balik antara penguasa dengan rakyat. Seorang penguasa/pemimpin dipilih dan diangkat oleh suatu kelompok dengan tujuan untuk mengorganisasikan serta memperjuangkan kepentingan kelompok tersebut. Oleh karenanya, manakala si pemimpin sudah mulai bergeser dari tujuan dan ketetapan yang telah disepakati bersama, anggota-anggota kelompok harus secepatnya mengaktifkan dan melakukan fungsi sebagai alat kontrol atau pengawas.
Kesempatan menjadi pemimpin bukanlah kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi diatas pribadi-pribadi yang lain, melainkan kesempatan untuk mengamalkan/mengabdikan segala kekuatan, pikiran dan kemampuannya bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Ya, pemimpin pada prinsipnya adalah abdi masyarakat.
Masyarakat Adalah Inti
Sejarah teori kedaulatan didunia menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari yang non demokratis kepada yang demokratis. Semenjak berakhirnya abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan bagi kebudayaan global khususnya di Eropa, dalam Ilmu Negara muncullah pemikiran tentang Kedaulatan Tuhan. Ajaran teori Kedaulatan Tuhan yang sangat identik dengan teori Kedaulatan Raja ini menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan kepada Raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan Raja adalah bebas, tidak terbatas dan tidak terikat, karena memang Raja hanya tunduk dan bertanggungjawab kepada Tuhan. Dengan demikian maka kehendak dan perintah raja adalah perwujudan kehendak dan perintah Tuhan.
Bahkan Raja James I dari Inggris pernah berkata : "Raja adalah penjelmaan Tuhan di bumi. Kedudukan Raja adalah sesuatu yang paling luhur didunia, karena raja itu tidak saja orang kepercayaan Tuhan yang didudukkan diatas singgasana Tuhan, tetapi malahan oleh Tuhan sendiripun ia disebut Tuhan".
Ajaran ini mengandung kelemahan, yaitu ketika Raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Semua yang dimilikinya langsung berpindah kepada Raja baru yang menggantikannya. Disinilah muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara yang berpendapat bahwa Negaralah yang memberi kekuasaan kepada Raja, bukan sebaliknya.
Akan tetapi, ajaran inipun ternyata menyimpan kekurangan juga. Apa artinya suatu negara atau pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur (hukum) ? Krabbe menyatakan bahwa hukum itu terjadi dari rasa keadilan (rechtsgefuhl) yang hidup pada sanubari rakyat. Dan hukum itu sendiri -- menurut Von Savigny -- tidak dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum, dari ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan perkembangan hidup rakyat. Ajaran ini dikenal dengan teori Kedaulatan Hukum.
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat dilihat secara jelas terjadinya proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu diupayakan untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak.
Meskipun demikian, peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belumlah begitu menonjol. Oleh karenanya timbul ajaranKedaulatan Rakyat yang masih berlaku sampai sekarang. Teori Kedaulatan Rakyat menentukan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang tertinggi. Rakyat dapat menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan pemerintahan kepada seseorang atau beberapa orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan. Bahkan jika dipandang perlu, rakyat bisa mencabut kembali kekuasaan yang telah diberikan kepada seseorang atau beberapa orang tadi. Akan tetapi sebaliknya, rakyat harus mematuhi aturan-aturan dan perintah si penguasa segera setelah terjadinya penyerahan kepercayaan tadi.
Sekarang nyatalah bahwa rakyat pada prinsipnya adalah pemimpin dari suatu negara, yang kemudian mewakilkan kepada beberapa anggotanya. Ibarat mobil, rakyat adalah setir-nya yang akan menentukan arah kemana mobil itu ditujukan ; sedang roda adalah perumpamaan bagi orang-orang yang ditunjuk rakyat untuk membawa mobil itu kearah yang telah ditetapkan.
Sistem pemerintahan Indonesia saat inipun -- secara teoritis -- menganut paham kedaulatan rakyat, dimana MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat yang bertugas menentukan haluan negara. Betapa manis dan kompaknya kerjasama antara MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dengan pemerintah sebagai pelaksana amanat rakyat tersebut. Dan, betapa indahnya mekanisme kerja antara keduanya.
Karenanya, sangat ironis sekali jika keindahan itu sekarang justru terbalik, rakyat takut mengungkapkan pikiran dan aspirasinya kepada penguasa, rakyat memandang penguasa sebagai tuannya, dan sebagainya. Keindahan itu telah ternoda. Rakyat yang mestinya berada diatas justru dibawah, dan penguasa yang mestinya adalah mandataris rakyat justru menjadi tuan dari rakyatnya. Ini berarti telah terjadinyaretradisionalisasi hubungan patron - client dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Orang Jawa bilang, telah terjadi wolak - waliking jaman.
Apa penyebab utama dari perubahan yang amat mendasar itu ? Bisa jadi karena rakyat bersikap masa bodoh, tidak peduli dengan lingkungan, dan apatis terhadap perkembangan politik dengan berpikir : "yang penting hak-hak saya tidak dilanggar ...". Tetapi bisa jadi pula disebabkan oleh sikap pemerintah yang terlanjur merasa nikmat, sehingga berusaha mencari legitimasi, yakni dengan menempuh cara-cara -- baik yang benar maupun tidak -- untuk melestarikan kekuasaannya, paling tidak untuk mempertahankan kekuasaan itu lebih lama dari yang seharusnya.
Dalam makalah berjudul Administrasi Negara Indonesia, Prospek dan Strategi Pendayagunaannya Dalam PJPT II yang dikeluarkan LAN Perwakilan Jawa Barat, disinyalir bahwa karena aparatur negara yang ada saat ini adalah aparatur yang mewarisi sistem administrasi kolonial yang berbaur dengan budaya feodal, maka dalam pelaksanaan jabatannya cenderung menampilkan rangkaian kekuasaan dan kewenangan, sehingga dalam ketidaktertiban administrasi memberi peluang bagi aparatur/pejabat untuk menyalahgunakan wewenang, korupsi, dan kebiasaan jelek lainnya, yang menjauhkan posisi aparatur negara dari masyarakat yang harus dilayani dan diayomi.
Mudah-mudahan saja prakiraan diatas tidak benar. Mudah-mudahan pula tidak sedang timbul gejala Machiavellisme atauShang Yang-isme yang berprinsip bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat, terlebih dahulu harus memperlemah rakyatnya. Dan Memang, tulisan ini tidak bertujuan untuk menganalisa kausalitas dan jalan keluar bagi masalah-masalah "berat" tersebut. Penulis, secara sederhana ingin mengajak kepada masyarakat untuk menyadari posisinya sebagai mitra atau partner yang sangat dibutuhkan oleh penguasa (pemerintah) dalam mencapai tujuan bersama, terutama bagaimana masyarakat mengawasi, menilai dan mempengaruhi segala sikap, persepsi dan peri laku pemerintah. Dengan kata lain, bagaimana masyarakat memberikan partisipasinya dibidang politik kepada mitranya.
Partisipasi politik menurut Samuel Huntington (1990 : 4 - 18) adalah kegiatan yang dilakukan oleh para warga negara preman (private citizen) dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi itu dapat secara spontan, secara sinambung atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif dan tidak efektif. Adapun jenisnya antara lain berupa kegiatan pemilihan, lobbying, kegiatan organisasi, mencari koneksi (contacting) dan tindak kekerasan (violence).
Permasalahan yang sangat krusial yang berkaitan dengan tulisan ini adalah faktor-faktor apa yang menyebabkan perbedaan tinggi rendahnya partisipasi masyarakat ? Berdasarkan penelitian para ahli (termasuk Huntington sendiri), pada tingkat mikro, yakni tingkat individu dan konteks kelompok dimana ia bertindak, hal itu sebagian dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan dalamstruktur status, baik status pendidikan maupun penghasilannya.
Variabel status disini sangat berkaitan dengan variabel sikap, yakni perasaan mempunyai efektivitas dan kompetensi politik. Dari sini dapat ditarik suatu pola umum bahwa semakin tinggi status seseorang akan semakin tinggi pula partisipasi politiknya.
Akan tetapi dalam kondisi tertentu, pola umum tersebut dapat menyimpang. Banyak contoh yang bisa ditunjuk untuk menjelaskan hal ini, misalnya golongan terpelajar Filipina tidak menunjukkan partisipasinya dalam Pemilu 1949, disebabkan karena anggapan bahwa suaranya tidak akan berharga sedikitpun. Juga kelompok intelektual Cina Malaya yang tidak memberikan suara pada Pemilu 1964 karena adanya diskriminasi dan penghapusan hak pilih bagi mereka. Begitu juga golongan melek huruf di India yang kurang berminat untuk memberikan suara, menghadiri rapat politik atau menyumbang uang untuk kampanye.
Dalam ketiga contoh diatas, partisipasi masyarakat yang buta huruf justru lebih tinggi dibanding kelompok cendekiawan, dikarenakan mereka tidak menyadari efektivitas suara mereka dalam suatu pengumpulan pendapat.
Adapun status ekonomi -- baik dalam arti kemandirian maupun ketergantungan ekonomi -- kasus di Kolombia memperlihatkan bahwa rakyat kecil yang tidak mampu serta tidak memiliki tanah, mudah sekali dipengaruhi oleh kelompok yang mampu. Ini berarti terjadi suatu partisipasi yang dimobilisasi untuk kepentingan golongan tertentu. Oleh karenanya, di daerah-daerah pedesaan Amerika Latin, pemilikan tanah merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik yang otonom.
Disamping status pendidikan dan penghasilan, ternyata ada lagi faktor yang mempengaruhi partisipasi, yaitu pekerjaan. Partisipasi orang-orang Negro di Amerika pada pemungutan suara tahun 1960-an berkaitan dengan sumber penghasilan yang relatif tidak tergantung kepada kontrol orang-orang kulit putih.
Jika secara teoritis telah ditemukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi rakyat, maka secara teoritis pula dapat ditentukan langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk membawa partisipasi masyarakat itu ke arah yang diinginkan.
Dari uraian dan contoh-contoh di atas, tentunya kita semua ber-keinginan untuk meningkatkan peran serta aktif seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, kita harus berusaha dari dua arah, yaitu dari bawah dan dari atas. Usaha dari bawah dimaksudkan sebagai usaha dari masyarakat untuk lebih meningkatkan kesadaran politiknya serta untuk lebih memahami arti pentingnya suara bagi sebuah perubahan. Suatu negara yang menganut sistem demokrasi dengan suara terbanyak, satu suara bisa berarti merubah dunia. Dan memang, pada dasarnya suara adalah pencerminan dari pemikiran, keinginan dan harapan dari orang yang mengeluarkan suara tersebut. Karena itu, keputusan untuk tidak memberikan suara pada suatu pengumpulan pendapat, sama saja dengan tidak memperhatikan kepentingan sendiri.
Adapun usaha dari atas dimaksudkan sebagai sikap, perilaku dan kemauan politik pemerintah untuk menciptakan suasana yang mendukung partisipasi masyarakat. Untuk itu, agar kasus-kasus di atas tidak muncul kembali, paling tidak pemerintah harus melakukan tiga usaha. Pertama, tumbuhkan kepercayaan di hati rakyat bahwa suara mereka benar-benar menjadi pertimbangan untuk memutuskan suatu masalah. Tidak ada artinya jika semua suara yang masuk hanya sekedar ditampung atau diterima saja, yang justru akan menjadikan kefrustasian dan keapatisan rakyat. Ini berarti pula bahwa prinsip LUBER (Langsung Umum Bebas Rahasia) semestinya tidak hanya dipegang pada waktu pelaksanaan Pemilu, tetapi juga pada setiap keputusan yang menyangkut nasib orang banyak.
Kedua, pemerintah harus lebih intensif meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan ekonomi rakyat. Dengan terpenuhinya dua faktor itu maka pengetahuan masyarakat akan efektivitas suara cukup tinggi, serta diharap-kan tidak timbul mobilisasi partisipasi. Ketiga adalah menciptakan suasana aman dan tenang dalam artian psikologis. Seseorang tidak bisa secara bebas menentukan sikap dan pilihan jika ada tekanan-tekanan yang tidak kelihatan -- dari manapun datangnya -- yang secara moril tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk menentukan sikap dan pilihan lain. Jadi, rasa aman dan tenang disini dapat diartikan juga bahwa penentuan bentuk dan jenis partisipasi tidak menimbulkan ekses-ekses negatif bagi orang yang bersangkutan seperti kesulitan kenaikan pangkat, kesulitan perolehan pekerjaan, dan sebagainya. Jika rasa aman ini belum terjamin, sama artinya dengan adanya mobilisasi partisipasi secara psikologis.
Suatu harapan agar posisi aparatur negara -- khususnya menyongsong PJPT II -- beralih dari subyek pembangunan yang dominan menjadi fasilitator, motivator dan dinamisator pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat, adalah wajar sekali. Ini berarti -- seperti dikatakan Moerdiono (Birokrasi dan Administrasi Pembangunan) -- dengan rela hati Pemerintah harus bersedia mengubah peran dalam pembangunan dari ing ngarsa sung tuladha menjadi tut wuri handayani.
Pengawasan Masyarakat
Dari hal-hal yang dikemukakan diatas, bisa kita analisa bahwa sebenarnya peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan khususnya dibidang pengawasan terhadap aparatur negara, sangatlah memungkinkan. Tinggal bagaimana kita semua mau melaksanakan dengan itikad baik demi kepentingan dan kemajuan bersama.
Ungkapan melu handarbeni dan melu hangrungkebi mengajak kita untuk ikut merasa memiliki dan ikut merasa bertanggungjawab atas nasib bangsa dan negara. Kesejahteraan dan kemakmuran bangsa adalah kebanggaan bersama, dan kehancuran bangsa adalah dosa bersama.
Pertanyaannya sekarang adalah, adakah pedoman untuk melaksanakan pengawasan masyarakat ? Secara yuridis formal memang belum ada, tetapi dalam GBHN diamanatkan bahwa berhasilnya pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila antara lain tergantung kepada partisipasi seluruh rakyat. Salah satu bentuk dari partisipasi itu adalah pengawasan masyarakat (Wasmas).
Wasmas sangat diperlukan karena keterbatasan kemampuan pengawasan melekat Waskat) dan pengawasan fungsional (Wasnal). Adapun tujuannya adalah makin meningkatnya tanggung jawab pada peran serta masyarakat dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu aparatur pemerintah berkewajiban untuk selalu memberikan kesempatan agar masyarakat mampu dan mau melaksanakan Wasmas dengan sebaik-baiknya. Bagaimanapun kecilnya nilai informasi yang disampaikan, Wasmas harus diperhatikan dan dihargai. Surat kaleng sekalipun perlu mendapat perhatian, karena seringkali isi informasi yang disampaikan ternyata benar dan sangat berharga.
Meskipun demikian, pelaksanaan Wasmas itu sebaiknya memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti obyektif (tidak bersifat memfitnah), dimaksudkan untuk perbaikan, disampaikan secara jelas dan lengkap (kalau perlu dengan bukti-bukti), serta memberitahukan bentuk-bentuk pelanggaran, penyimpangan, penyalahgunaan wewenang atau kesalahan yang terjadi. Disamping itu hendaknya dijelaskan pula patokan-patokan yang dilanggar, dan memuat saran-saran serta identitas orang yang menyampaikannya.
Tentu saja, penyampaian Wasmas itu tidak harus langsung melalui tatap muka dengan pejabat, secara tertulis melalui Kotak Pos 5000 (Kantor Wakil Presiden), melalui media massa atau tuntutan ke Pengadilan, akan teta-pi bisa juga disampaikan secara tidak langsung melalui Lembaga Perwakilan Rakyat, organisasi profesi, atau lembaga-lembaga sosial seperti Yayasan Lem-baga Konsumen, Lembaga Bantuan Hukum, dan lain-lain.
Agar Wasmas dapat berjalan lebih optimal, maka pemerintah harus memperhatikan beberapa hal antara lain :
· Secepatnya memberikan tanggapan dengan menjelaskan tindakan-tindakan yang telah diambil, atau menjelaskan duduk persoalannya.
· Dalam hal tanggapan belum dapat dilakukan karena masih memerlukan penelitian, maka tanggapan dilakukan secara bertahap : pertama, menyampaikan penghargaan dengan penjelasan akan segera dilakukan penelitian, dan setelah penelitian selesai, baru disampaikan tanggapan.
· Mengambil langkah tindak lanjut dalam bentuk usaha penertiban, peningkatan dan pembinan untuk merehabilitasi, meningkatkan dan membina citra instansi.
Sumber : http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/08/optimasi-pengawasan-masyarakat-strategi.html
Komentar
Posting Komentar